Label

Kamis, 23 Februari 2012

UNTUK IBU

To : IBU…
Ibu, sungguh aku selalu menyayangimu walaupun aku terlihat cuek dan tidak peduli kepadamu, tetapi setiap waktu aku selalu merindukanmu, walau aku sekarang tidak bisa bersamamu, sebenarnya aku ingin memelukmu karena aku sangatlah MENYAYANGIMU……..
IBU engkaulah pembangkit semangatku di kala aku sedih, ….
Ku ingin mengucapkan kata yang dari dulu ingin ku ucapkan IBU…
Aku ingin mengatakan IBU MAAFKANLAH AKU…. Di setiap aku di dekatmu sebenarnya aku ingin mengucapkan kata itu, karena aku merasa tidak bisa menjadi anak yang tidak berbakti, dan tidak bisa menjadi anak yang dapat di banggakan……
IBU…. IBU….IBU>>> aku selalu menyayangimu….. IBU IBU>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>
Ibu taukah kau aku menangis saat ini… ibu.. bisa kah kau memberi ketenangan hatiku ini ibu… ibu
IBU aku membutuhkan belai kasih mu IBU……

Kamis, 09 Februari 2012

CERDAS ISTIMEWA ADALAH POTENSI BAWAAN


CERDAS ISTIMEWA ADALAH POTENSI BAWAAN

Beberapa waktu lalu, kita sering mendengar bahwa semua anak pada dasarnya adalah anak cerdas. Sebetulnya slogan ini sangat keliru, sebab tidak semua anak yang dilahirkan mempunyai potensi bawaan kecerdasan yang baik. Ada beberapa anak yang sejak lahir mengalami gangguan perkembangan inteligensi yang parah, sehingga kelaknya ia akan lebih banyak tergantung dari lingkungannya.
Ada juga slogan-slogan atau tawaran pendidikan sejak dini yang menggiurkan yang dapat menjadikan anak-anak kita akan menjadi anak yang jenius. Berbagai upaya dilakukan, misalnya memberikan stimulasi sedini mungkin dengan berbagai cara, misalnya memberikan kartu-kartu untuk membaca kepada bayi, mendengarkan musik klasik kepada bayi dan sebagainya. Atau pemberian nutirisi tertentu. Apabila si anak tidak mempunyai gen pembawa sifat yang berada di dalam kromosomnya sebagai anak penyandang inteligensi tinggi, yang akan menjadi blue print perkembangannya, maka apapun yang diberikan padanya, untuk menjadikannya anak jenius, hal itu semua akan tidak bisa dicapainya.
Perkembangan kecerdasan (kognitif) istimewa seorang anak pada dasarnya akan menjadi suatu potensi yang stabil yang dapat terwujud dalam bentuk prestasi jika mendapatkan stimulasi yang baik dari lingkungannya. Namun tanpa adanya potensi bawaan ini, seorang anak tidak akan mungkin menjadi anak cerdas istimewa apalagi anak-anak jenius.

·         Prestasi cerdas istimewa tidak dapat berkembang begitu saja
Di lapangan, kita sering pula mendengar bahwa ada tawaran-tawaran pendidikan yang dapat menjadikan anak kita menjadi cerdas dalam berbagai hal. Dengan pendekatan tertentu, kita ingin pula menjadikan anak kita mempunyai bermacam-macam kecerdasan. Namun kita juga perlu mengingat bahwa kita harus berpegang bahwa untuk menjadikan anak kita mempunyai “bermacam kecerdasan” diperlukan adanya faktor potensi bawaan. Artinya, kita harus melihat bagaimana nature biologis anak.
Nature biologis anak juga mempunyai keragaman kualitas dan juga kuantitasnya. Maksudnya, setiap anak dilahirkan dengan kondisi bawaan yang berbeda-beda. Ia mempunyai perbedaan dari satu anak ke anak lain, baik dari segi kualitas dan kuantitas potensi yang dimilikinya. Ada anak yang mempunyai perkembangan emosi yang sangat baik, ada yang kurang. Ada anak yang mempunyai perkembangan motorik yang sangat baik, ada yang kurang. Begitu juga dengan anak-anak yang mempunyai potensi cerdas istimewa ini, sebagaimana yang dijelaskan di atas. Semuanya itu akan mewarnai berbagai prestasi perkembangannya kelak.
Namun, adanya nature biologis ini, kita juga tidak mungkin membiarkannya begitu saja dan mengharapkan seorang anak yang sudah mempunyai potensi bawaan istimewa akan dapat mencapai pretasi istimewanya, jika kita sebagai orang tua dan guru tidak turun tangan memberinya stimulasi, nutrisi, pengasuhan dan pendidikan yang sesuai sebagaimana yang dibutuhkan. Memberikan stimulasi terhadap tumbuh kembangnya, memberinya nutrisi berupa kebutuhan makan yang bergizi, pengasuhan yang memberinya rasa aman secara emosi dan sosial, serta memberinya pendidikan bagi pekembangan kecerdasannya, disebut sebagai faktor nurture.
Artinya disini, kita harus tetap mengingat, dalam mengasuh dan mendidik anak-anak kita tetap menggunakan rumusan nature + nurture. Apabila dahulu di tahun 1970 di Amerika terjadi sebuah konflik pemahaman tentang nature vs nurture dimana pemahaman kaum intelektual maupun masyarakat terpecah menjadi dua antara nurture dan nature, kini selayaknya konflik itu sudah harus kita tinggalkan. Kita tidak lagi mempersoalkan bahwa prestasi seseorang hanyalah diwarnai oleh potensi bawaan (nature biologisnya) atau pengasuhan/stimulasinya (nurture). Seharusnya debat antara nature vs nurture ini kini kita sudahi. Kita harus mulai dengan pemahaman baru bahwa prestasi seorang anak tidak mungkin tercapai andaikan kita tidak memberikan stimulasi (nurturing) yang sesuai dengan kebutuhan tumbuh kembangnya, serta potensi bawaannya (nature biologisnya).
Awalnya konflik nature vs nurture itu terjadi di tahun 1970-an di Amerika, saat mana ada survai statistik secara besar-besaran terhadap IQ anak muda Amerika. Hasil dari survai itu menunjukkan bahwa anak-anak muda dari kalangan kulit hitam dan dari kelompok miskin menunjukkan IQ yang lebih rendah daripada dari kelompok orang kulit putih dan kelompok orang kaya. Hasil sensus ini memunculkan reaksi yang hebat dari kalangan ilmuwan sosial, yang menghawatirkan akan terjadinya konflik diskriminasi yang semakin hebat. Karena inteligensi rendah sering dikaitkan dengan masalah-masalah kekerasan, narkoba, dan kriminalitas.
Pemahaman orang terhadap inteligensi pada saat itu bahwa inteligensi merupakan suatu bentuk yang diturunkan atau genetik (nature biologis) tanpa lagi melihat bahwa prestasi akan dipengaruhi oleh fator lingkungan (nutrisi, stimulasi, pengasuhan, dan pendidikan). Dari situ muncullah kelompok-kelompok yang akan berusaha menisbikan IQ sebagai konsep pengukuran inteligensi seorang anak, dan memberikan pemahaman baru bahwa perkembangan kecerdasan atau inteligensi seorang anak lebih tergantung dari lingkungannya (faktor nurture). Pemahaman ini yang kemudian memunculkan pengertian lain tentang konsep kecerdasan terutama konsep kecerdasan majemuk (multiple intelligence) beserta berbagai turunannya seperti kecerdasan emosi (emotional intelligence) maupun spiritual intelligence. Hingga saat ini konsep-konsep ini masih berpegang pada pemahaman bahwa kecerdasan lebih dipengaruhi oleh faktor lingkungan dan kurang memperhitungkan potensi bawaan atau genetiknya. Disamping itu munculnya konsep multiple intelligence dengan 7 atau 8 macam kecerdasan itu hingga saat ini masih belum ada alat ukurnya.
Konflik nature vs nurture ini dalam dunia ilmu psikologi dikenal sebagai The bell curve war. Namun dari berbagai penelitian tentang genetika, majunya teknologi pencitraan otak yang mampu menunjukkan tentang keragaman dan keunikan anak yang dilahirkan, telah memberikan pengertian baru kepada kita, bahwa setiap anak yang dilahirkan akan membawa keunikannya masing-masing. Dalam bidang ilmu anak cerdas istimewa juga diketahui bahwa dari hasil penelitian menunjukkan bahwa kecerdasan istimewa seorang anak lebih dipengaruhi oleh faktor genetik. Hal ini diketahui dari berbagai penelitian pada anak kembar identik yang menunjukkan bahwa kans cerdas istimewa secara bermakna akan jauh lebih besar pada anak-anak yang kembar identik daripada yang non-identik. Dari hasil-hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa berkecerdasan istimewa akan murni dipengaruhi oleh nature biologisnya. Walau begitu, gen pembawa sifat yang mana yang merupakan penentu bahwa seorang anak adalah pembawa sifat cerdas istimewa, hingga saat ini masih belum dapat ditentukan. Hal ini disebabkan karena kecerdasan istimewa tidak ditentukan oleh satu faktor tetapi oleh banyak faktor. Karena itu, bentuk berkecerdasan istimewa juga mempunyai keragaman yang cukup banyak.
Sekalipun demikian, sekalipun seorang anak akan ditentukan oleh nature biologisnya, tetap dalam perjalanannya, lingkungan akan juga mempengaruhi perkembangan dan prestasinya. Karena itu debat nature vs nurture ini sudah tidak sesuai lagi dengan berbagai temuan-temuan penelitian dalam tahun-tahun terakhir ini. Namun debat nature vs nurture ini masih sering kita temui jika kita harus berhadapan dengan masalah dunia pendidikan dan pengasuhan. Kelompok nurture selalu mengatakan bahwa: “Kita jangan menyia-nyiakan usia anak kita, sebab usia balita adalah usia emas (the golden age) yang harus kita isi dengan berbagai stimulasi agar anak kita menjadi sebagaimana apa yang kita inginkan”. “Jangan biarkan otak anak-anak kita menjadi kosong, kita harus mengisinya dengan berbagai stimulasi yang dibutuhkan.” Dengan adanya seruan-seruan atau ajakan seperti di atas, menyebabkan dunia pengasuhan dan pendidikan menjadi tidak ada batasnya lagi, terjadilah stimulasi dan memberikan materi kurikulum yang berlebihan. Apalagi adanya anekdot bahwa selagi masa usia emas (golden age periode) otak anak sangat plastis dan dapat diisi tanpa batas. Menyebabkan anak-anak sejak masih bayi sudah mendapatkan stimulasi yang berlebihan, yang bisa jadi justru akan menekan perkembangan anak secara sehat.
·         Perlu dukungan
Apa artinya mendukung seorang anak cerdas istimewa? Selama ini kita hanya memahami bahwa seorang anak cerdas istimewa bisa selamat dalam berbagai situasi karena kita anggap ia adalah seorang anak yang pandai, dan dapat beradaptasi dimanapun. Namun sesungguhnya tidaklah demikian. Ada banyak hal yang perlu kita pahami. Tidak populernya ilmu yang membahas anak-anak cerdas istimewa selama ini adalah karena anak cerdas istimewa selama ini dianggap sebagai anak yang tidak mempunyai masalah. Karena sajian pembahasan sering hanya menyajikan masalah keberbakatannya dan akademiknya saja, tanpa pernah membicarakan masalah-masalah yang muncul akibat faktor kuatnya yang tidak terdukung, masalah tumbuh kembangnya, dan masalah kepribadiannya. Namun dari banyak pengalaman dan penelitian akhir-akhir ini tentang perkembangan dan kepribadian anak-anak cerdas istimewa, memberikan hasil yang mendorong berbagai pihak agar anak cerdas istimewa sejak balita hingga masa pendidikannya memerlukan pengelompokan tersendiri sebagai anak yang mempunyai resiko serta membutuhkan perhatian khusus. Ia membutuhkan dukungan yang seksama, baik dari keluarga, pihak sekolah, berbagai profesi yang berkaitan, dan juga dari lingkungannya.

Jumat, 03 Februari 2012

MAKALAH PENDIDIKAN


MENINGKATKAN KEMAMPUAN KOGNITIF DENGAN
MACAM-MACAM PERMAINAN SAINS

BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Anak usia dini sedang dalam tahap pertumbuhan dan perkembangan baik fisik maupun mental yang paling pesat. Perkembangan telah dimulai sejak prenatal, yaitu sejak dalam kandungan. Pembentukan sel syaraf otak, sebagai modal pembentukan kecerdasan, terjadi saat anak dalam kandungan. Setelah lahir tidak terjadi lagi pembentukan sel syaraf otak, tetapi hubungan antar sel syaraf otak (sinap) terus berkembang. Begitu pentingnya usia dini, sampai ada teori yang menyatakan bahwa pada usia empat tahun 50% kecerdasan telah tercapai, dan 80% pada usia delapan tahun (Suyanto, 2005:7).
Dalam kehidupan anak, bermain mempunyai arti yang sangat penting. Dapat dikatakan bahwa setiap anak yang sehat selalu mempunyai dorongan untuk bermain sehingga dapat dipastikan bahwa anak yang tidak bermain pada umumnya dalam keadaan sakit, jasmaniah dan rohaniah (Montolalu, dkk, 2007:1.2)
Perkembangan kognitif (cognitive development) adalah tahapan-tahapan perkembangan kognitif manusia mulai dari usia anak-anak sampai dewasa; mulai dari proses-proses berpikir secara konkret atau melibatkan konsep-konsep abstrak dan logis Suharnan (dalam Darsinah, 2011:5). Pemerintah telah berupaya untuk melakukan pembenahan dalam rangka peningkatan hasil belajar sains. Salah satunya adalah materi pengenalan sains pada kurikulum 2004 untuk TK dan RA dalam pengembangan kognisi, dengan kompetensi dasar anak mampu mengenal berbagai konsep sederhana dalam kehidupan sehari-hari. Salah satu hasil belajar yang diharapkan adalah anak dapat mengenal konsep-konsep sains sederhana. Pendekatan bermain sambil belajar dalam model pembelajaran sains di TK untuk menumbuhkan kemampuan berpikir Yulianti (2010:17). Diharapkan siswa memperoleh pengalaman belajar yang menyenangkan, sehingga kemampuan kognisinya berkembang khususnya kemampuan berpikir kritis dan kreatif, sehingga dapat mengolah perolehan belajarnya, dapat menemukan bermacam-macam alternatif pemecahan masalah, membantu mengembangkan kemampuan berpikir logis dan kritis (Wolfinger dalam Yulianti, 2010:19).

B.     Rumusan Masalah
1.      Apa pengertian dari kognitif?
2.      Apa yang dimaksud sains dan permainan?
3.      Bagaimana pendekatan pembelajaran sains di TK?
4.      Bagaimana peran guru dalam proses pembelajaran sains di TK?

C.    Tujuan
1.      Bisa mendiskripsikan arti kognitif.
2.      Bisa menjelaskan arti dari sains dan arti permainan.
3.      Mengetahui bagaimana cara pendekatan dalam pembelajaran sains di TK.
4.      Mengetahui peran guru dalam pembelajaran sains di TK.

D.    Manfaat  
1.      Secara teoritis
Dapat menambah pengetahuan kepada guru tentang penerapan permainan sains dalam pembelajaran di TK.
2.      Secara praktis
a.       Untuk menumbuhkan kemampuan berpikir anak.
b.      Siswa dapat memperoleh pengalaman yang menyenangkan.
c.       Siswa mampu berpikir kritis dan kreatif.
d.      Siswa bisa menemukan bermacam-macam alternatif pemecahan masalah.








BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Perkembagan Kognitif
Perkembangan kognitif menggambarkan bagaimana pikiran anak berkembang dan berfungsi sehingga dapat berpikir. Semua anak memiliki perkembangan kognitif yang sama yaitu melalui empat tahapan : (1) sensori-motor, (2) pre-operasional, (3) konkret-operational, dan (4) formal-operational (Piaget dalam Suyanto, 2005:53).
Piaget menolak paham lama yang menyatakan bahwa kecerdasan adalah bawaan secara genetis. Ini terjadi pada setiap manusia, termasuk pada anak-anak. Khususnya pada anak usia dini, bahwa pengetahuan dapat diperoleh melalui eksplorasi, manipulasi, dan konturksi secara elaboratif. Lebih dari itu, dijelaskan bahwa karakteristik aktivitas anak-anak juga berdasarkan pada tendensi-tendensi biologis yang terdapat pada semua organisme. Tendensi-tendensi tersebut mencakup tiga hal, yaitu; asimilasi, akomodasi, dan organisasi (Piaget dalam Suyadi, 2009:97)
Pada hakekatnya segala ilmu dapat diajarkan kepada semua anak dari semua usia, asal materinya benar-benar sesuai. Dengan demikian guru perlu mengetahui posisi kondisi kognitif individu yang akan belajar agar guru dapat mengadaptasikan program pembelajarannya. Ada 3 tingkatan perkembangan kognitif yaitu Enactiva, Iconic, dan Symbolic.
1.      Enactiva
Tingkat kognitif terjadi pada bayi. Anak yang berada pada tingkat ini akan mudah belajar atau kognitifnya akan berkembang dengan baik bila dilakukan lewar hubungan sensorimotoriknya atau melalui rangsangan sensorimotoriknya. Stimulasi sensori motor akan membantu untuk memahami dirinya maupun dunia sekitarnya. Hal ini akan membantu perkembangan kognitifnya anak.


2.      Iconic
Tingkat kognitif ini terjadi pada saat anak di TK. Anak yang berada pada tingkatan ini akan mudah belajar lewat gambaran mental dan bayangan ingatannya. Oleh karenanya kita hendaknya membentuk gambaran mental anak dengan cara yang memudahkan dia melalui penggunaan alat peraga, baik alat peraga langsung maupun alat peraga tidak langsung. Anak lebih mudah mengingat makna melompat dengan melihat gerakan melompat daripada diberi pengertian yang bersifat verbal.
3.      Symbolic
Tingkat kognitif ini terjadi mulai SD kelas akhir atau SMP awal dimana anak secara baik mampu menggunakan bahasa dan berpikir secara abstrak. Anak sudah mampu menggunakan simbul-simbul atau lambang-lambang yang memiliki makna tertentu. Meski lambang tidak tidak  merempresentsikan yang dilambangkan, anak telah mampu memahami. Anak telah dapat memahami atau memberi makan tulisan “baju” walau tidak disertai dengan gambar baju (Baner dalam Darsinah, 2011:23)

B.     Pengertian Sains dan Bermain
Sund, (dalam Suyanto) Sains merupakan disiplin ilmu yang mempelajari obyek alam dengan metode ilmiah. Untuk anak TK, obyek tersebut meliputi benda-benda di sekitar anak dan benda-benda yang sering menjadi perhatian anak. Air, udara, bunyi, api, tanah, tumbuhan, hewan, dan dirinya sendiri merupakan obyek-obyek sains yang sering menjadi perhatian anak. Berbagai gejala alam seperti hujan, angin, petir, kebakaran, hewan yang beranak, tumbuhan yang berbuah juga menarik bagi anak. Obyek-obyek tersebut dipelajari melalui metode ilmiah, yang bagi anak TK perlu disederhanakan. Observasi, eksplorasi, dan eksperimentasi. (http://staff.uny .ac.id/.../).
Diseluruh belahan dunia dan dalam budaya apapun, bermain adalah kebutuhan setiap manusia baik dewasa ataupun anak-anak. Terlebih untuk anak-anak, bermain memiliki fungsi dan manfaat yang sangat penting bagi perkembangan seorang anak. Bermain bukan hanya sebuah kesenangan belaka, namun sudah menjadi suatu kebutuhan akan ada sesuatu yang kurang dari dirinya dibandingkan dengan anak yang tercukupi kebutuhan bermainnya (Conny dalam Astuti, 2010:1).

C.    Pendekatan Pembelajaran Sains di TK
Pendekatan pembelajaran sains pada anak TK dan Raudlatul Athfal hendaknya memperhatikan prinsip-prinsip yang berorientasikan pada kebutuhan anak dengan memperhatikan hal-hal berikut :
1.      Berorientasi pada kebutuhan dan perkembangan anak
Salah satu kebutuhan perkembangan anak adalah rasa aman. Oleh karena itu jika kebutuhan fisik anak terpenuhi dan merasa aman secara psikologis, maka anak akan belajar dengan baik. Disamping itu perlu diperhatikan bahwa siklus bejalar anak TK adalah berulang dengan memperhatikan perbedaan individu. Minat yang tumbuh akan memotivasi belajarnya, sedangkan anak-anak lainnya. Dengan demikian berbagai jenis kegiatan pembelajaran hendaknya dilakukan melalui analisis kebutuhan yang disesuaikan dengan berbagai aspek perkembangan dan kemampuan pada masing-masing anak. Tidak terkecuali dalam pembalajaran sains, minat sains anak dapat dibangkitkan melalui bermain sains yang dirancang dengan aman untuk anak, dirancang agar anak bisa bersosialisasi dengan teman, membangkitkan motivasi dan rasa ingin tahu. Guru jangan malas untuk selalu mengulang pertanyaan untuk membangkitkan minatnya dan mengulang untuk menegaskan jawaban yang benar.
2.      Bermain sambil belajar
Bermain merupakan pendekatan dalam melaksanakan kegiatan pembelajaran pada anak-anak usia TK dan Raudlatul Athfal. Untuk itu dalam memberikan pendidikan pada anak usia TK dan Raudlatul Athfal harus dilakukan dalam situasi yang menyenangkan sehingga anak tidak merasa bosan dalam mengikuti pelajara. Selain menyenangkan, metode diikuti sehingga anak akan termotivasi untuk belajar. Melalui kegiatan bermain anak diajak untuk bereksplorasi, menemukan dan memanfaatkan objek-objek yang dekat dengannya, sehingga pembelajaran menjadi lebih bermakna. Bermain bagi anak juga merupakan suatu proses kreatif untuk bereksplorasi, mempelajari keterampilan yang baru dan bermain dapat menggunakan simbol untuk menggambarkan dunianya. Pembelajaran harus dirancang sedemikian sehingga melalui bermain anak-anak menemukan konsep dengan suasana yang menyenangkan dan tidak terasa anak telah belajar sesuatu dalam suasana bermain yang menyenangkan.
3.      Selektif, kreatif dan inovatif
Materi sains yang disajikan dipilih sedemikian rupa sehingga dapat disajikan melalui bermain. Proses pembelajaran dilakukan memlalui kegiatan-kegiatan yang menarik, membagkitkan rasa ingin tahu, memotivasi anak untuk berpikir kritis dan menemukan hal-hal baru. Pengelolaan pembelajaran hendaknya juga dilakukan secara dinamis. Artinnya anak tidak hanya dijadikan sebanyak objek, tetapi juga subjek dalam proses pembelajaran. Oleh karena itu dibutuhkan kreativitas dan inovasi guru dalam menyusun kegiatan pembelajaran sains.
Kegiatan belajar di TK dirancang untuk membentuk perilaku dan mengembangkan kemampuan dasar yang ada dalam diri anak usia Taman Kanak-Kanak, dalam pelaksanaan pembelajaran sains harus sesuai dengan tahap-tahap perkembangan anak. Dalam pelaksanaan proses belajar mengajar sains di TK, guru harus memahami dan mengusai metode pembelajaran sains, diharapkan tujuan pendidikan di TK yaitu untuk mengembangkan kemampuan fisik, kognisi, bahasa, sosial-emosi, konsep diri, disiplin, kemandirian, seni, moral dan nilai-nilai agama dapat tercapai secara terpadu dan optimal.
Sains mengkaji fenomena alam yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Mengenalkan sains kepada anak dapat dilakukan dengan mengamati dan menyelidiki fenomena di lingkungan sekitar. Anak juga dapa diajak belajar sains melalui permainan dengan berbagai macam benda, misalnya air, kertas, tanah liat, daun-daunan dari pohon sekitar sekolah dan sebagainya.
Pengenalan sains untuk siswa TK dan Raudlatul Athfal dilakukan untuk mengembangkan kemampuan sebagai berikut :
a.       Eksplorasi dan investigasi, yaitu kegiatan untuk mengamati dan menyelidiki objek dan fenomena alam.
b.      Mengembangkan keterampilan proses sains dasar, seperti melakukan pengamatan, mengukur, mengkomunikasikan hasil pengamatan dan sebagainya.
c.       Mengembangkan rasa ingin tahu, rasa senang, dan mau melakukan kegiatan intuisi atau penemuan
d.      Memahami pengetahuan tentang berbagai benda, baik ciri, struktur, maupun fungsinya.
Dari hal di atas maka pembelajaran sains di TK dapat dirancang melalui bermainan yang didalamnya terdapat aktivitas mengamati, menyelidiki, berketrampilan proses, dan membangkitkan rasa ingin tahu. (Yulianti, 2010:24-26)

D.    Peran Guru dalam Pembelajaran Sains di TK
Orang tua adalah guru pertama dan utama bagi anak usia dini termasuk anak usia Taman Kanak-Kanak. Sedangkan guru adalah pemegang kendali dala, proses pendidikan anak usia dini. Karena memegang peranan penting dalam proses pendidikan, maka dalam upaya mengembangkan seluruh potensi anak didik, seorang guru harus bisa merencanakan, mempersiapkan dan melaksanakan kegiatan belajar yang disesuaikan dengan karakteristik anak Taman Kanak-Kanak, misalnya anak diajak untuk mengamati fenomena alam yang terjadi di sekitarnya atau anak diajak untuk menggolongkan benda sesuai kategori masing-masing. Dengan cara seperti ini diharapkan anak dapat mengetahui dan memahami konsep-konsep sains sederhana.
Guru harus mengatur penempatan semua peralatan dan perabotan yang akan digunakan dalam kegiatan sesuai dengan kebutuhan dan keamanan anak. Hal ini dimaksudkan untuk menjaga keamanan anak mengingat bahwa anak usia dini sedang dalam masa emas perkembangan otaknya dan mempunyai rasa ingin tahu yang sangat besar.
Selain itu dalam mempersiapkan semua kegiatan yang akan dilakukan, sebaiknya memiliki tingkat kesulitan yang berbeda yaitu ada yang sulit, tidak terlalu sulit atau sedang, dengan tujuan untuk mengetahui sampai sejauh mana tingkat pemahaman dan penguasaan anak terhadap konsep-konsep dasar yang telah diajarkan.
Hal yang perlu diperhatikan juga oleh guru adalah memantau setiap kegiatan yang dilakukan oleh anak, apakah kegiatan tersebut membosankan atau menyenangkan. Guru harus memperhatikan perilaku anak selama kegiatan berlangsung. Dengan perhatian perulaku anak, guru bisa mengetahui apakah anak mengalami kesulitan atau tidak pada saat melakukan kegiatan.
Peran guru dalam bermain sambil belajar atau belajar seraya bermain adalah sebagai fasilitator dan ikut berpartisipasi aktif selama anak bermaian (Hughes dalam Yulianti, 2010:41).
Peran guru dalam kegiatan bermain di sekolah/kelas sangat penting guru harus dapat berperan sebagai berikut :
1.      Guru sebagai Perencana
Sebagai perencana, guru harus merencanakan suatu pengalaman yang baru agar murid-murid terdorong untuk mengembangkan minat dan kemampuannya. Perencanaan yang disusun guru meliputi hal-hala berikut:
a.       Tujuan/sasaran yang ingin dicapai
b.      Bentuk kegiatan bermain yang akan dilakukan
c.       Alat dan bahan diperlukan (jenis dan jumlahnya)
d.      Tempat kegiatan tesebut akan dilakukan (di dalam aau di luar ruangan)
e.       Alokasi waktu, berapa lama waktu yang disediakan untuk kegiatan bemaian tersebut
f.       Penilain dan evaluasi untuk mengetahui ketercapaian tujuan/sasaran dan keberhasilan pelaksanaan kegiatan tersebut.

2.      Guru sebagai fasilitator
Guru sebagai fasilitator artinya guru harus mampu menfasilitasi seluruh kebutuhan anak pada saat kegiatan bermain dan belajar langsung. Guru harus berperan dengan aktif, kreatif, dan dinamis. Apabila anak-anak yang bemain dengan air maka guru harus menyediakan berbagai peralatan yang dibutuhkan untuk bermain dengan air jika anak-anak bemain peran maka tugas gurulah untuk menyiapkan alat dan bahan untuk bermain peran. 
3.      Guru sebagai pengamat
Dalam tugasnya sebagai pengamat, guru harus mengobservasi/mengamati hal-hal berikut.
a.       Bagaiaman anak berinteraksi dengan anak lain dan interaksi anak dengan benda-benda/mainan disekitarnya?
b.      Berapa lama seorang anak melakukan suatu permainan?
c.       Adakah anak-anak yang mengalami kesulitan dalam bermain atau bergaul dengan teman sebayanya sehingga dapat memberi bantuan jika diperlukan?
d.      Apakah ada anak yang menggangu/terganggu ketika kegiatan bermain sedang berlangsung?
4.      Guru sebagai model
Anak usia TK adalah masa meniru. Oleh karena itu, sebagaian besar kegiatan TK dilaksanakan melalui peniruan/imitasi. Pada masa ini anak akan menirukan segala tindak-tanduk guru disekolah.
5.      Guru sebagai Motivator
Guru sebagai motivator artinya guru harus dapat menjadi pendorong bagi anak untuk melakukan kegiatan bermain. Guru mendorong anak untuk lebih aktif ketiaka bermain, mendorong anak untuk melakukan eksplorasi, discovery, dan melakukan kegiatan-kegiatan untuk mendapatkan penemuan-penemuan dan mendorong anak untuk menyalurkan rasa ingin tahunya dan mencari jawaban atau rasa ingin tahunya tersebut, membangkitkan semangat dan membujuk anak yang tidak mau bermain.
Misalnya ketika bermain harta karun di area pasir. Guru memotivsi anak untuk berlomba dengan semangat untuk menemukan harta sebanyak-banyaknya. Dorongan bisa dilakukan dengan ucapan “Ayo Adit, kamu pasti bisa menemukan lebih banyak lagi”. Bisa pula dilakukan dengan mengacungkan ibu jari pada anak yang baru saja menemukan satu harta karun.
6.      Guru sebagai teman
Selain sebagai pendidik guru juga harus dapat berperan sebagai teman/sahabat bagi anak dalam bermain. Dalam hal ini guru bertindak sebagai coplayer, artinya guru mempunyai peran yang setara dengan anak. Sebagai seorang teman bermain, guru menempatkan diri sebagai teman yang baik sehingga situasi bermain dan belajar menjadi akrab serta penuh kesenangan dan kegembiraan. Jika hubungan guru dan teman terbentuk, seperti teman/sahabat maka anak akan lebih membuka diri pada gurunya. Hal ini dapat membantu anak mengembangkan sosialisasinya dengan lebih baik.
Guru sebagai teman/sahabat berarti guru harus bersedia terjun berpartisipasi bermain bersama anak-anak, berbaur dalam kegiatan yang dilakukan anak-anak. Di sini guru jangan selalu memberikan instruksi/perintah, tetapi mengikuti aturan yang dibuat anak-anak.
(Montolalu, dkk, 2007:12).










BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Perkembangan kognitif menggambarkan bagaimana pikiran anak berkembang dan berfungsi sehingga dapat berpikir. Semua anak memiliki perkembangan kognitif yang sama yaitu melalui empat tahapan : (1) sensori-motor; (2) pre-operasional; (3) konkret-operational; dan (4) formal-operational. Pada hakekatnya segala ilmu dapat diajarkan kepada semua anak dari semua usia, asal materinya benar-benar sesuai. Dengan demikian guru perlu mengetahui posisi kondisi kognitif individu yang akan belajar agar guru dapat mengadaptasikan program pembelajarannya. Ada 3 tingkatan perkembangan kognitif yaitu Enactiva, Iconic, dan Symbolic.
Sains merupakan disiplin ilmu yang mempelajari obyek alam dengan metode ilmiah. Untuk anak TK, obyek tersebut meliputi benda-benda di sekitar anak dan benda-benda yang sering menjadi perhatian anak. Air, udara, bunyi, api, tanah, tumbuhan, hewan, dan dirinya sendiri merupakan obyek-obyek sains yang sering menjadi perhatian anak. Bermain adalah kebutuhan setiap manusia baik dewasa ataupun anak-anak. Terlebih untuk anak-anak, bermain memiliki fungsi dan manfaat yang sangat penting bagi perkembangan seorang anak.
Pendekatan pembelajaran sains pada anak TK dan Raudlatul Athfal hendaknya memperhatikan prinsip-prinsip yang berorientasikan pada kebutuhan anak dengan memperhatikan hal-hal (1) Berorientasi pada kebutuhan dan perkembangan anak; (2) Bermain sambil belajar; dan (3) Selektif, kreatif
Peran guru dalam bermain sambil belajar atau belajar seraya bermain adalah sebagai fasilitator dan ikut berpartisipasi aktif selama anak bermaian. Peran guru dalam kegiatan bermain di sekolah/kelas sangat penting guru harus dapat berperan sebagai (1) Guru sebagai Perencana; (2) Guru sebagai fasilitator; (3) Guru sebagai pengamat; (4) Guru sebagai model; (5) Guru sebagai Motivator; dan (6) Guru sebagai teman.  

B.     Saran
1.      Bagi pendidik
Alangkah baiknya para pendidik bisa menciptakan permainan-permainan sains yang menarik dan menyenangan bagi anak yang bisa meningkatkan kemampuan kognitif anak.
2.      Bagi pembaca
Diharapkan bisa ikut serta dalam penerapanan pembaharuan pembelajaran sains dan juga berpartisipasi dalam menciptakan permainan-permainan sains yang dapat diterapkan di TK atau RA.













DAFTAR PUSTAKA

Astuti, Wili. 2010. Bermain dan Teknik Permainan. Surakarta: Universitas Muhammadiyah Surakarta.
Darsinah. 2011. Perkembangan Kognitif. Surakarta: Universitas Muhammadiyah Surakarta.
Montolalu, dkk. 2007. Bermain dan Permainan Anak. Jakarta: Universitas Terbuka.
Suyadi. 2009. Ternyata, Anakku Bisa Kubuat Genius!.Jogjakarta: Power Book.
Suyanto, Slamet. 2011. Pengenalan Sains untuk Anak TK dengan Pendekatan “Open Inquiry”. (http://staff.uny .ac.id/../). Di unduh pada tanggal 22 Desember2011, Pukul 14.22.
Suyanto, Slamet. 2005. Konsep Dasar Pendidikan Anak Usia Dini. Jakarta: DEPDIKNAS.
Yulianti, Dwi. 2010. Bermain Sambil Belajar Sains. Jakarta: Indeks.